Cerbung : Irawati CH
“Al-Alya-“








“Dok, suami saya belum boleh banyak bergerak kan, Dok?” Alya langsung memotong kata-kata Ihsan. Dokter Zulfan hanya tersenyum getir. Betapa dia merasa iri akan perhatian yang diberikan Alya pada Ihsan.


“Kalian adalah pasangan suami yang sangat serasi. Dokter Ihsan sangat beruntung memiliki istri secantik dan sebaik bu Alya,” katanya dengan sedikit parau.



Alya hanya diam memandang ke luar jendela. Bunga-bunga mawar yang mulai mekar lebih menarik perhatiannya dari pada memandang dua pria yang ada di ruangan itu. Alya merasa sangat canggung. Bagaimana tidak, dia hampir saja menikah dengan Zulfan kalau saja kakaknya Zahra tidak meninggal dunia.



“Kalau begitu saya permisi dulu, ada pasien lain yang harus saya tangani. Nanti ada suster yang akan mengecek keadaan dokter Ihsan. Saya permisi dulu ya, dok,” dokter Zulfan pun keluar, dia terlihat cukup sibuk.
“Iya, dok. Terima kasih.” Kata Alya sambil menutup pintu.
Sekarang tinggal mereka berdua di ruangan itu. Sepi untuk sesaat, sampai akhirnya Alya memberanikan diri untuk memulai pembicaraan.
“Uda harus istirahat. Kondisi Uda masih belum pulih sepenuhnya.”
Ihsan mengerutkan kening “Uda, baik-baik saja,”
“Jangan terlalu banyak bicara, Da. Jangan terlalu banyak gerak juga,” Alya mengingatkan.
“Dokter tidak mengatakan seperti itu,” sahut Ihsan. Benar juga. Dokter Zulfan tidak menjawab pertanyaan Alya tadi. Dia malah mengalihkan topik pembicaraan.
“Tapi lebih baik Uda tidak melakukannya.”
“Berapa lama Uda di sini?” Ihsan bertanya.
Alya sedikit ragu untuk mengatakan bahwa suaminya itu telah menjadi pasien di rumah sakit ini selama tiga bulan.
“Alya!” Ihsan memanggil namanya. Alya menghela nafas.
“Tiga bulan,” Ihsan menampilkan ekspresi berbeda.
“Tiga bulan?” Alya mengangguk.
“Iya, Da.” Ihsan terdiam. Ada rasa bersalah menyeruak di hatinya yang paling dalam. Dia telah menyusahkan Alya, istri yang tak pernah dianggapnya selama ini. Pantas saja dia begitu merindukan wajah polos itu. Begitu lama dia tertidur. Tubuhnya memang terasa kaku saat digerakkan.
Alya menatap Ihsan. Perasaannya jadi tidak karuan saat lelaki itu balas menatapnya.
“Uda, harus banyak istirahat. Jangan banyak bergerak dulu. Alya mau ke toilet sebentar.”
Alya segera keluar dari kamar itu. Berada dalam satu ruangan yang sama dengan lelaki itu berhasil membuat stok udara di sekitarnya menipis. Kecanggungan itu seolah membakarnya hingga ke ubun-ubun. Tatapan Ihsan seperti menyudutkannya sehingga dia tidak bisa bergerak. Tatapan yang sangat berbeda dengan tatapan sebelum Ihsan koma. Dia menatap ke belakang tepatnya ke kamar rawat Ihsan. Dia melihat bu Hanifah, Pak Rajo, Nurma dan Ilham. Memasuki ruangan itu. Alya merasa bergidik takut melihat Ilham.
“Ihsan, kamu beruntung memiliki istri soleha seperti Alya, dia merawatmu dengan sangat telaten. Bundo tidak pernah mencemaskanmu, saat kamu berada dalam dalam pengawasan Alya,” kata bundo Hanifah.
Jauh di lubuk hati Ihsan dia juga merasa sangat bersyukur memiliki istri berhati emas seperti Alya. Selama ini Ihsan tidak pernah bersikap baik pada gadis itu. Namun, tidak menjadikan gadis itu membencinya ataupun mendendam padanya. Apa salahnya jika gadis itu meninggalkan Ihsan ketika kecelakaan itu. Tapi tidak! Alya masih bertahan menunggunya. Bahkan dengan sukarela merawatnya dengan penuh kasih sayang. Berdoa siang dan malam untuk kesembuhan suami tak tau diri ini. Airmata jatuh berderai di pipi pucat Ihsan. Dia menyesal. Dokter muda itu berjanji, tidak akan menyakiti gadis itu lagi. Kebaikan hati gadis itu sama persis seperti Zahra.
Dulu, Zahra juga pernah disakiti oleh Ihsan. Zahra adalah seorang gadis dengan hijab lebar. Dia aktif dalam setiap kegiatan di sekolahnya. Ihsan saat itu menjabat sebagai ketua OSiS. Mereka sering bertemu dalam setiap acara sekolah.
Saat itu Ihsan sedang tergila-gila pada gadis cantik bernama Rara, adik sahabatnya sendiri Ridwan. Rara berpenampilan sangat modis. Pakaian apapun yang dipakainya terlihat cocok di tubuh semampainya. Ihsan menyukai itu.
Sampai pada suatu pagi senin, dengan sengaja Ihsan mendorong Zahra saat mereka berpapasan dekat kolam depan mushalla sekolah. Tubuh Zahra basah kuyup. Dia menangis. Namun, Ihsan tidak merasa iba sama sekali. Ilham lah yang sering membela Zahra saat jadi bulan-bulanan Ihsan.
Zahra berbaris bersama para siswa yang lain, untuk mengikuti upacara bendera. Zahra dihukum karena pakaiannya basah dan kotor. Namun, tak sekali pun keluhan keluar dari mulut Zahra. Gadis manis itu tak pernah mangatakan kalau Ihsan yang mendorongnya saat Ilham bertanya. Dia hanya berkata, “Zahra yang salah. Zahra berjalan kurang hati-hati, lalu jatuh.”
Setiap mereka bertemu, Zahra tetap saja seperti biasa. Tersenyum sekilas lalu menunduk. Ihsa merasa bersalah. Ia mulai mendekati Zahra. Namun, Zahra selalu menolak secara halus. Gadis lemah lembut itu tidak mau berpacaran, walaupun dia juga menyukai Ihsan secara diam-diam. Mereka hanya bersahabat dan Zahra berjanji akan menunggu Ihsan datang melamarnya.
Airmata Ihsan jatuh membasahi wajahnya yang tetap terawat selama koma. Kumis dan jambangnya selalu dicukur dengan teratur. Bayangan Zahra, kembali memenuhi pikirannya. Dengan mata terpejam, dibacanya surah Al fatihah. Hanya itu yang bisa dia lakukan saat rindu memenuhi kalbunya.
“Zahra, kamu gadis yang baik. Semoga kamu tenang di sana.”
****
Sore itu udara terasa panas. Matahari mulai condong ke arah barat. Semburat jingga membayang di langit biru. Keadaan Ihsan sudah sedikit pulih. Dia sudah di bolehkan pulang dan di rawat di rumah saja.
“Alhamdulillah, akhirnya bisa pulang ke rumah. Bisa makan masakan kamu lagi, Al,” kata Ihsan sambil menghempaskan tubuhnya di atas sofa ruang tamu. Alya hanya tersenyum. Ada bunga warna warni bermekaran di hatinya.
“Ya sudah, Uda istirahat dulu. Alya akan memasak asam padeh patin kesukaan Uda.”
Ihsan hanya mengangguk sambil berusaha bangkit dari duduknya. Lelaki itu berusaha berjalan dengan berpegangan pada sandaran kursi. Untuk sementara kamar mereka pindah ke kamar tamu, karena Ihsan kesulitan turun naik tangga.
Alya masuk ke dapur. Di bukanya kulkas mencari bahan-bahan yang diperlukan untuk memasak asam padeh patin. Tangannya cekatan meracik bumb dan membersihkan ikan.
Tak berapa lama ruangan dapur itu sudah penuh dengan aroma asam padeh. Tidak lupa ditambahkannya daun ruku-ruku sehingga aromanya semakin menggoda. Sambil menunggu asam padehnya matang, Alya memasak telur dadar. Dia memasak apa saja yang praktis siang ini, karena Ihsan dari tadi selalu berkata lapar.
Setelah semuanya tersedia di meja, Alya memanggil Ihsan yang sedang tiduran di kamar. Saat itu hanya mereka berdua di rumah. Bu Hanifah dan Pak Rajo sedang ke toko mereka di Pasar Raya. Sedangkan Ilham dan Nurma tidak terlihat dari tadi.
Alya mendekati Ihsan yang nampak tidur-tidur ayam.
“Da! Mari makan, Alya sudah selesai memasak,” kata Alya sambil menyentuh kaki Ihsan perlahan. Ihsan membuka matanya, dia tersenyum jahil.
“Alya, Uda tidak bisa berdiri sendiri. Tolong tarik tangan, Uda.”
Alya menyambut kedua tangan Ihsan yang terulur dan menariknya. Namun, semakin kuat dia menarik tubuh Ihsan tidak bergerak sama sekali. Alya malah terjatuh di atas tubuh lelaki halalnya itu. Pandangan mereka bertemu, detak jantung mereka terdengar satu sama lain.
“Alya, berat. Kamu menindihku.” Kata Ihsan sambil menyembunyikan senyumnya.
Alya segera menarik dirinya. Mukanya merah padam. Dia berlari ke belakang rumah. Saat akan duduk di bawah pohon jambu air yang menghadap ke kolam ikan dia mendengar suara seseorang.
“Aku akan membunuhnya, seperti apa yang kulakukan pada Zahra. Tapi kali ini aku harus menikmati tubuh seksinya terlebih dahulu.”