BeritaEkonomiPemerintahanPeristiwa

Meratapi Nasib Petani di Kabupaten 50 Kota, Akmal Darwis: Sawah Kering Kerontang, Sejumlah Huller Mulai tak Lagi Beroperasi

LIMAPULUH KOTA, dekadepos.com-

Seorang tokoh masyarakat di Kabupaten Limapuluh Kota sekaligus pemerhati sektor pertanian, Akmal Darwis, sudah lama risau tatkala mengamati nasib para petani yang perlahan-lahan mulai gundah gulana akibat menemukan banyak kendala dalam pengelolaan sektor pertanian mereka.

Menurut wartawan senior Harian Singgalang itu, sejak dua pekan terakhir di kampung halamannya Kabupaten Limapuluh Kota, harga eceran beras kualitas terbaik melambung naik ke angka Rp15.500/kg.

“Gejala harga naik mulai membayang awal tahun 2022, dimana harga jual di kios masih Rp12.700/kg. Perlahan harga merangkak naik ke angka 155.000/kemasan 10 kg,” ujar Akmal Darwis menyampaikan keprihatinnya.

Diungkapkan Akmal Darwis, harga beras mahal jenis sokan putih tidak patah. Rasanya gurih dan enak, meski dimakan tanpa lauk. Beras jenis ini cocok dengan selera warga Minangkabau dan beda dengan selera warga Jawa yang memilih beras pulen bergetah.

Akmal Darwis juga mengungkapkan, hasil pantaunnya di daerah ini masih tersedia beras sekitar 12.500 kg sampai dengan 14.500/kg, tapi kualitas bawah. Seperti beras bercampur, beras dari padi yang belum cukup usia, Artinya, dipanen atau padi dijemur tak sempurna kering. Mengakibatkan beras patah saat digiling. Berdedak halus, hingga merubah performa apalagi  rasa.

Melambungnya harga beras saat ini, ulas Akmal Darwis, dapat dipastikan bahwa ratusan hektare sawah di beberapa nagari di kawasan Kabupaten Limapuluh Kota terlihat tidak diolah para petani karena air tak cukup untuk mengairi perswahan mereka.

“ Ada pun hamparan lahan sawah tak digarap terlihat di Nagari Kubang, Sungai Antuan dan Talang Mau. Aie ndo ado,” ujar Akmal Darwis menirukan ungkapan Ketua Kelompok Tani KDS Ahmad Yezidra, (47 tahun), warga Jorong Kampung Tangah.

Diakui Akmal Darwis, rupanya tak Ahmad Yezidra saja yang menyampaikan keluhan soal sulitnya para petani mendapatkan ketersediaan air pada sarana irigasi pertanian mereka, namun Upik juga mengeluhkan hal yang sama.

” Sudah tiga musim tanam petani tak turun ke sawah, ” aku Upik jebolan  S2 di salah satu perguruan tinggi swasta, menyampaikan keresahannya kepada Akmal Darwis.

BANGUN EMBUNG

Menurut Akmal Darwis, berangkat dari keresahan yang dialami para petani yang mengaku usaha pertanian mereka tak bisa digarap akibat tidak didukung sarana irigasi itu, ternyata sudah menjadi kajian bagi Upik bersama sejumlah teman seprofesinya.

“Upik adalah konsultan perencana. Para konsultan warga Kubang itu sudah siapkan kajian bahwa di Kubang pantas dibangun embung penampung air. Sumber air ada. Dari embung air kelak disalurkan ke irigasi primer, tersier, sekunder hingga saluran cacing. Jika pembangunan Embung ini dapat diwujudkan, maka Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dapat difungsikan. P3A dibina oleh Dinas Pengairan Kabupaten atau Dinas Pengairan Provinsi,” ulas Akmal Darwis.

Tapi yang menjadi pemikiran bagi Upik bersama teman-teman konsultan asal Kubang itu, ungkap Akmal Darwis, jika perencanaan pembangunan embung tersebut rampung lalu dari mana sumber dana untuk pembangunan embung tersebut nantinya.

Diakui Akmal Darwis, untuk kawasan Kubang saat ini ada tiga huller kecil seperti di Taratak Kubang sudah tutup karena tak ada padi untuk digiling.

“ Tak beroperasi ketiga huller tersebut, karena petani setempat tidak lagi turun ke sawah karena tak ada ketersedian air irigasi,” ujar Akmal Darwis.

Sedangkan satu huller besar masih beraktifitas, itupun karena pemilik huller memiliki modal. Ia datangkan padi dari kabupaten tetangga seperti Tanah Datar, Agam dan Pasaman Timur. Padi yang datang dijemur di lantai jemur kapasitas 10 ton. Jika hujan turun. Padi dimasukan ke open pengering kapasitas 20 ton. Huller itu tak pernah henti bergerak, karena pemilik punya modal cukup.

Kemudian beras dipasarkan di kios-kios pengecer di kampung-kampung hingga ke Pakanbaru. Beras di kemas plastik transparan dengan merek Sokan UD Rang Caniago Taratak Kubang. Beras premium itu dikemas lengkap berlabel.

Sementara satu unit huller sumbangan pemerintah kepada kelompok tani di Talang Mau juga tak beroperasi. Selain tak tersedia padi jumlah cukup untuk digiling. Pengelola huller juga tak punya modal membeli padi seperti dilakukan pengusaha huller di Taratak Kubang.

” Aneh, para petani sudah membeli beras kini, Pak,“ kata Iyon (57 tahun), warga Korong di Sungai Antuan menyampaikan keluhannya pada Akmal Darwis.

Disebutkan Akmal Darwis, Iyon adalah Ketua Kelompok Tani dan anggotanya miliki sekitar 25 hektare lahan sawah yang tak lagi dialiri air irigasi.

“Miris melihat nasib para petani kita di Kabupaten Limapuluh Kota. Pertanyaannya, mampukah Pemerintah Daerah kita mengatasi persoalan yang kini dihadapi para petani kita yang nasibnya terus terpuruk? (ds)